Pernah lihat kan, brand skincare baru yang muncul dengan heboh? Influencer di mana-mana, packaging-nya gemesin dan lucu maksimal, testimoninya katanya bikin jerawat minggat dalam semalam. Enam bulan kemudian, akun Instagram-nya sepi, produknya diskon gila-gilaan di marketplace, dan sang owner sibuk jualan barang lain.
Klasik.
Banyak yang berpikir kegagalan mereka karena produknya jelek atau marketingnya kurang kenceng. SALAH BESAR!
Seringkali, "dosa" terbesar mereka terjadi jauh sebelum produk pertama dicetak di pabrik maklon seperti CV. Zweena Adi Nugraha. Dosa itu tersembunyi di dalam file Excel yang kosong atau bahkan tidak pernah dibuat sama sekali: perencanaan harga yang ngawur.
Mereka sibuk memilih wangi serum, tapi lupa menghitung biaya operasional. Mereka pusing menentukan desain stiker, tapi abai soal biaya admin marketplace dan komisi affiliate. Hasilnya? Omzet kelihatannya gede, tapi di rekening isinya cuma angin. Anda bukan pebisnis, Anda cuma donatur untuk logistik dan platform digital.
“Yang Penting Produknya Keren & Murah Dulu!” – Jebakan Maut Paling Manis
Ini mantra paling umum dari para calon brand owner yang semangatnya masih meledak-ledak. Mereka datang ke CV. Zweena dengan satu pertanyaan: “Berapa HPP (Harga Pokok Produksi) paling murah untuk serum ini?”
Pertanyaan ini terdengar logis, tapi sebenarnya ini adalah langkah pertama menuju jurang keboncosan. Kenapa? Karena mereka memulai dari titik yang salah. Mereka berpikir alurnya begini:
HPP Murah + Ambil Untung Dikit = Harga Jual Kompetitif → Laris Manis!
Kenyataannya, bisnis skincare itu lebih rumit dari sekadar HPP dan untung. Di antara dua titik itu, ada segunung biaya "gaib" yang siap menerkam:
Biaya Marketing: Gaji influencer, ongkos iklan Meta Ads & TikTok Ads, biaya endorse, hingga program reward untuk Affiliate Loyal.
Biaya Operasional: Gaji admin, sewa gudang (walau di rumah), biaya packing (bubble wrap, lakban, boks).
Biaya Platform: Potongan komisi marketplace (bisa 3-8%), biaya admin payment gateway.
Biaya Distribusi: Margin untuk reseller, agen, atau distributor. Kalau tidak ada ini, siapa yang mau bantu jual?
Dana Cadangan & Pengembangan: Untuk riset pengembangan produk baru, promosi tak terduga, dll.
Ketika Anda hanya fokus pada "HPP murah + untung dikit", semua biaya di atas akan menggerogoti keuntungan tipis Anda sampai habis.
Sekarang, mari kita balik logikanya. Jangan mulai dari HPP. Mulailah dari ujungnya: Harga Jual Konsumen (End-User Price). Ini yang saya sebut metode "Piramida Terbalik".
Sebelum Anda menelepon tim CV. Zweena untuk bertanya soal harga produksi, duduk dulu dengan secangkir kopi dan file Excel. Lakukan ini:
Langkah 1: Tentukan Harga Jual di Pasar
Riset kompetitor dengan kualitas setara. Jika produk sejenis dijual Rp 100.000, maka itulah patokan Anda. Jangan ngotot jual Rp 50.000 hanya karena ingin "beda", kecuali Anda punya strategi volume yang sangat matang. Anggap saja Anda menetapkan harga jual akhir (HJK) produk Anda adalah Rp 120.000.
Langkah 2: Bedah dan Alokasikan "Kue" Anda
Sekarang, potong-potong "kue" seharga Rp 120.000 itu dari atas ke bawah. Ini hanya contoh, persentase bisa Anda sesuaikan.
PPN (11%): Rp 11.891 (Ini wajib negara, jangan dianggap untung).
Sisa kue: Rp 108.109
Margin Distributor/Agen/Reseller/Affiliate (30%): Rp 32.432 (Mereka butuh untung agar semangat jualan).
Sisa kue: Rp 75.677
Biaya Marketing & Branding (25%): Rp 18.919 (Anggaran untuk iklan, endorse, promosi).
Sisa kue: Rp 56.758
Biaya Operasional & Marketplace Fee (15%): Rp 8.513 (Untuk admin, packing, potongan komisi).
Sisa kue: Rp 48.245
Dana CSR & Pengembangan (5%): Rp 2.412 (Untuk sedekah, donasi, atau riset produk baru. Ini yang bikin brand Anda punya 'ruh').
Sisa kue: Rp 45.833
Target Profit Bersih Anda (minimal 20%): Rp 9.166
Sisa terakhir: Rp 36.667
Nah, angka Rp 36.667 inilah yang menjadi HPP MAKSIMAL Anda.
Dengan angka HPP maksimal di tangan, barulah Anda datang ke CV. Zweena Adi Nugraha. Sekarang, percakapan Anda akan berubah total.
Bukan lagi, "Berapa HPP termurah?"
Tapi menjadi, "Saya punya budget HPP maksimal Rp 36.000 per produk. Dengan budget ini, formula, bahan aktif, dan kemasan terbaik apa yang bisa saya dapatkan?"
Lihat bedanya?
Anda tidak lagi didikte oleh harga produksi. Sebaliknya, Anda yang mendikte target produksi berdasarkan perencanaan bisnis yang matang. Anda tahu persis berapa jatah untuk marketing, berapa keuntungan bersih Anda, bahkan Anda sudah menyisihkan dana untuk kebaikan (CSR) sejak awal.
Membangun brand skincare itu bukan lari sprint, tapi maraton. Jangan sampai napas Anda habis di kilometer pertama karena lupa membawa bekal. Bekal itu bukanlah produk yang keren semata, tapi angka-angka di dalam Excel yang sudah Anda rencanakan dengan kepala dingin.
Jadi, sebelum mimpi Anda jadi sultan keburu berubah jadi tagihan, matikan dulu mode kreatif Anda, dan nyalakan mode akuntan. Itulah kunci agar brand Anda tidak hanya lahir, tapi juga hidup dan tumbuh besar.
Belum ada komentar.